Rabu, 18 November 2015

Pancasila sebagai dasar negara indonesia





Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia



Oleh :

Amal Ma’ruf
AKM 0713041



ANALIS KESEHATAN MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Paham kebangsaan secara fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo (1908), gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java dan sebagainya (1920), Pemuda Indonesia (1925) kemudian disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah semenjak lahirnya paham kebangsaan bukanlah cetusan tekad para pejuang bangsa, melainkan strategi yang kelak menjadi ideologi perjuangan untuk merdeka.
2.      Rumusan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
a.       Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara?
b.       Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia?
3.      Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a.       Penulis ingin mengetahui Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara Pada hakikatnya,
b.      Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
c.       Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila jika dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara dan sebagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya, terdapat berbagai macam terminologi yang harus kita deskripsikan secara obyektif. Oleh karena itu untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila meliputi :
1.      Pengertian Pancasila secara Etimologis
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, menurut Muhammad Yamin dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu : Panca artinya lima Syila artinya batu sendi, dasar, atau  Syiila artinya peraturan tingkah laku yang baik/senonoh
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila yang memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur. Kata Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Dalam ajaran Budha terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui samadhi dan setiap golongan mempunyai kewajiban moral yang berbeda. Ajaran moral tersebut adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila. Pancasyiila menurut Budha merupakan lima aturan (five moral principle) yang harus ditaati, meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan larangan minum-minuman keras. Melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, kebudayaan India masuk ke Indonesia sehingga ajaran Pancasyiila masuk kepustakaan Jawa terutama jaman Majapahit yaitu dalam buku syair pujian Negara Kertagama karangan Empu Prapanca disebutkan raja menjalankan dengan setia ke lima pantangan (Pancasila). Setelah Majapahit runtuh dan agama Islam tersebar, sisa-sisa pengaruh ajaran moral Budha (Pancasila) masih dikenal masyarakat Jawa yaitu lima larangan (mo limo/M5) : mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabok (minuman keras/candu), main (berjudi).

2.      Pengertian  Pancasila  Secara Historis
Sidang BPUPKI pertama membahas tentang dasar negara yang akan diterapkan. Dalam sidang tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir.Soekarno yang mengusulkan nama dasar negara Indonesia disebut Pancasila. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 termasuk Pembukaannya yang didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip sebagai dasar negara. Walaupun dalam Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah/kata Pancasila, namun yang dimaksudkan dasar negara Indonesia adalah disebut dengan Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan rumusan dasar negara yang secara spontan diterima oleh peserta sidang BPUPKI secara bulat. Secara historis proses perumusan Pancasila adalah :
a.       Mr. Muhammad Yamin
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut :
a)      Peri Kebangsaan 
b)      Peri Kemanusiaan 
c)      Peri Ketuhanan 
d)     Peri Kerakyatan 
e)      Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato beliau juga menyampaikan usul secara tertulis mengenai rancangan UUD RI yang di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara sebagai berikut : 
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa. 
b)      Kebangsaan persatuan Indonesia. 
c)      Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab 
d)     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 
e)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Mr. Soepomo
Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut : 
a)      Persatuan
b)      Kekeluargaan
c)      Keseimbangan lahir dan bathin
d)     Musyawarah
e)      Keadilan rakyat.
c.       Ir. Soekarno
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara yang disebut dengan nama Pancasila secara lisan/tanpa teks sebagai berikut :
a)      Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia.
b)      Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
c)      Mufakat atau Demokrasi.
d)     Kesejahteraan Sosial.
e)      Ketuhanan yang berkebudayaan
Selanjutnya beliau mengusulkan kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio Nasional (Nasionalisme dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat), Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi menjadi Eka Sila yang intinya adalah gotong royong
d.      Piagam Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan sidang oleh 9 anggota BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam Jakarta” dan didalamnya termuat Pancasila dengan rumusan sebagai berikut :
a)      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
b)      Kemanusiaan yang adil dan beradab
c)      Persatuan Indonesia
d)     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
e)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengertian Pancasila Secara Terminologis Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa
b)      Kemanusiaan yang adil dan beradab
c)      Persatuan Indonesia
d)     Kerakyatan  yang  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan  dalam permusyawaratan/ perwakilan.
e)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi dan eksistensinya, terdapat pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut :
1.      Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950)
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa
b)      Peri Kemanusiaan
c)      Kebangsaan
d)     Kerakyatan
e)      Keadilan Sosial
2.      Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa
b)      Peri Kemanusiaan
c)      Kebangsaan
d)     Kerakyatan
e)      Keadilan Sosial

3.      Dalam kalangan masyarakat luas
a)      Ketuhanan Yang Maha Esa
b)      Peri Kemanusiaan
c)      Kebangsaan
d)     Kedaulatan Rakyat
e)      Keadilan Sosial
Dari berbagai macam rumusan Pancasila, yang sah dan benar adalah rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
B.     Pancasila sebagai Dasar Negara
Pengertian Pancasila sebagai dasar Negara diperoleh dari Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
a.       Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.       Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e.       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
C.     Memaknai Pancasila Sebagai Dasar Negara.
Sejak Sebelum merdeka Pancasila dirumuskan dan kemudian sehari setelah merdeka ditetapkan sebagai dasar negara. Keputusan itu diterima oleh semupihak karena Pancasila memang merupakan rumusan kompromi antara berbagai elemen yang berada di negeri ini. Namun demikian Perjalanan pancasila dalam sejarah negeri ini tidaklah mulus. Masuknya Indonesia ke dalam demokrasi liberal produk dari maklumat X yang kemudian disusul dengan penetapan UUDS 1950 menempatkan politik Indonesia sebagai sistem liberal dengan multi partai dengan sistem pemerintahan Parlementer telah menyimpang dari UUD 1945. Sidang konstituante yang menempatkan semua UUD yang ada baik UUD 1945 maupun UUD 1950 sebagai UUD sementara yang harus diubah, maka persoaalan dasar negara kemudian juga muncul kembali partai-partai Nasional dan komunis mendukung dasar pancasila sementara Masyumi, NU, Perti PSII dan partai islam lainnya mendukung Islam sebagai dasar negara. Ini antara lain salah satu fase sejarah perjalanan Pancasila yang mesti dirunut.
KH Muchid Muzadi (Mustasyar PBNU) mencoba menjelaskan kenapa NU yanaga sejak awal telah mensepakati Pancasila sebagai dasar negara sampai bias mengikuti Masyumi menghendaki dasar Islam. Ada beberapa alasan, pertama musuh bebuyutan NU yaitu PKI ikut mendukung Pancasila, maka NU khawatir Pancasila tidak murni lagi dijadikan sarana manipulasi oleh komunis, saat itu Bung Karno juga mulai akan memeras-meras Pancasila menjadi Trisila samapi Eka sila. Ini juga mengkhawatirkan NU dengan nasib Pancasila yang seutuhnya, makanya NU kemudian memilih dasar Islam. Ketika konstituante mengalami jalan buntu setelah dilakukan voting tentang dasar negara yang kekuatannya berimbang, pihak NU mulai realistis, karena itu mencoba melalui pendekatan dengan Bung Karno, kalau Kembali Ke UUD 1945 dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara hendaklah Piagam Jakarta tetap dijadikan sumber inspirasi dan sumber hukum dan tetap menjiwai UUD 1945. Tuntutan NU itu dipenuhi karena itu NU kemudian bersedia menjadi pendorong kembali Ke UUD 1945 dan Penempatan pancasila sebagai dasar negara. Kembalinya NU ke dasar pancasila itu sebenarnya telah dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq pada tahun 1957 saat sidang Konstituante berlangsung, tetapi usulan itu tidak memperoleh tanggapan serius. Usulan NU yang disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam sidang Konstituante untuk penempatan Piagam Jakarta sebagai jiwa dari UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara tanpa mengabaikan nilai-nilai agama itu dianggap mampu mengurai persoalan pelik hubungan agama dengan negara, yang dihadapi oleh semua partai agama saat itu. Jalan keluar yang ditawarkan oleh NU itu dianggap langkah sangat cerdik, akhirnya partai-partai Islam yang selama ini menghendaki dasar Islam bersedia menerima Pancasila dan UUD 1945.
Ketika hubungan agama dengan negara kembali mencuat setelah munculnya berbagai peristiwa komando jhad dan gerakan teror lainnya di Indonesia yang terisnpirasi oleh Revolusi Islam Iran, tidak sedikit kelompok yang memiliki aspirasi negara Islam muncul kembali. Gerakan Islam radikal juga amulai marak hingga awal tahun 1980. Karena itu dalam Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1982 NU menetapkan Pancasila sebagai Asas organisasinya dengan beberapa alasan antara lain :
1.      Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2.      Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Selanjutnya dikatakan bahwa NU berkewajiban mengamankan pengertian Pancasila secara murni dan konsekwen. Kata mengamankan pengertian pancasila menjadi komitmen NU hal itu tidak lain karena selama ini Pancasila cenderung disalahartikan, selama ini misalnya orde baru menggunakan Pancasila untuk menstigma kelompok lain sehingga dijadikan alasan untuk menyingkirkan seseorang, padahal Pancasila merupakan wadah kompromi bagi aneka macam bangsa Indonesia. Belum lagi kalau selama ini kita mengaku Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi dalam kenyatannya kita telah banyak mengingkari ketetapan itu. Karena itu pengertian arah dan tujuan Pancasila perlu diamankan, perlu diluruskan, dan kini kewajiban kita, apakah sistem politik kita, demokrasi kita sistem ekonomi kita dan sistem relasi sosial kita masih berpijak pada Pancasila ini perlu kita periksa satu persatu, kalau kita masih mengakui Pancasila sebagai dasar negara.
D.    Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional.
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri, hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut. Mari kita mulai dengan kemajuan bahkan kemajuan besar yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif. Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemerdekaan terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan yang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu dosa yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke meja hijau dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak  dengan dalih  sakit juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh Dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara.Kekuatan TNI terutama di laut dan di udara sedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapalkapalperang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas nota juga tanpa pengawasan yang efektif bukan saja secara praktis telah mencaplok demikian luas hak l masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik, Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya. Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam mantra sekuler dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998 terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral. Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan alasan pembentukan (raison) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasilasebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah  yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijaka nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada para mahasiswa sekarang.

B.     Saran
Berdasarkan uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah negara kita Republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar