Pancasila Sebagai Dasar
Negara Indonesia
Oleh :
Amal Ma’ruf
AKM 0713041
ANALIS KESEHATAN MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Paham
kebangsaan secara fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo (1908),
gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java dan sebagainya (1920), Pemuda
Indonesia (1925) kemudian disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah semenjak lahirnya
paham kebangsaan bukanlah cetusan tekad para pejuang bangsa,
melainkan strategi yang kelak menjadi ideologi perjuangan untuk merdeka.
2. Rumusan Masalah
Untuk
menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
a. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar
Negara?
b. Makna
Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
Dalam
penyusunan Makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a. Penulis ingin mengetahui
Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara Pada hakikatnya,
b. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar
Negara
c.
Melaksanakan Pancasila Sebagai
Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila jika
dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya
sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara dan sebagai
kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya, terdapat berbagai macam
terminologi yang harus kita deskripsikan secara obyektif. Oleh karena itu untuk
memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun
peristilahannya maka pengertian Pancasila meliputi :
1. Pengertian Pancasila secara
Etimologis
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, menurut
Muhammad Yamin dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti
secara leksikal, yaitu : Panca artinya lima Syila artinya batu
sendi, dasar, atau Syiila artinya peraturan tingkah laku yang
baik/senonoh
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasyila
yang memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur. Kata
Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Dalam ajaran
Budha terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui samadhi dan
setiap golongan mempunyai kewajiban moral yang berbeda. Ajaran moral tersebut
adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila. Pancasyiila menurut Budha
merupakan lima aturan (five moral principle) yang harus ditaati, meliputi
larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan larangan minum-minuman keras.
Melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, kebudayaan India masuk ke Indonesia
sehingga ajaran Pancasyiila masuk kepustakaan Jawa terutama jaman Majapahit
yaitu dalam buku syair pujian Negara Kertagama karangan Empu Prapanca
disebutkan raja menjalankan dengan setia ke lima pantangan (Pancasila). Setelah
Majapahit runtuh dan agama Islam tersebar, sisa-sisa pengaruh ajaran moral
Budha (Pancasila) masih dikenal masyarakat Jawa yaitu lima larangan (mo
limo/M5) : mateni (membunuh), maling (mencuri), madon
(berzina), mabok (minuman keras/candu), main (berjudi).
2. Pengertian Pancasila
Secara Historis
Sidang BPUPKI pertama membahas tentang dasar negara yang
akan diterapkan. Dalam sidang tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin,
Soepomo dan Ir.Soekarno yang mengusulkan nama dasar negara Indonesia
disebut Pancasila. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 termasuk
Pembukaannya yang didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip sebagai dasar
negara. Walaupun dalam Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah/kata Pancasila,
namun yang dimaksudkan dasar negara Indonesia adalah disebut dengan Pancasila.
Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan
rumusan dasar negara yang secara spontan diterima oleh peserta sidang BPUPKI
secara bulat. Secara historis proses perumusan Pancasila adalah :
a. Mr. Muhammad Yamin
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato
mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut :
a) Peri Kebangsaan
b) Peri Kemanusiaan
c) Peri Ketuhanan
d) Peri Kerakyatan
e) Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato beliau juga
menyampaikan usul secara tertulis mengenai rancangan UUD RI yang di dalamnya
tercantum rumusan lima asas dasar negara sebagai berikut :
a) Ketuhanan Yang Maha Esa.
b) Kebangsaan persatuan
Indonesia.
c) Rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Mr. Soepomo
Pada
sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan lima dasar negara sebagai
berikut :
a) Persatuan
b) Kekeluargaan
c) Keseimbangan lahir dan bathin
d) Musyawarah
e) Keadilan rakyat.
c. Ir. Soekarno
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
mengusulkan dasar negara yang disebut dengan nama Pancasila secara lisan/tanpa
teks sebagai berikut :
a) Nasionalisme atau Kebangsaan
Indonesia.
b) Internasionalisme atau
Perikemanusiaan.
c) Mufakat atau Demokrasi.
d) Kesejahteraan Sosial.
e) Ketuhanan yang berkebudayaan
Selanjutnya beliau mengusulkan
kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio Nasional (Nasionalisme
dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan
Rakyat), Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi
menjadi Eka Sila yang intinya adalah “gotong royong”
d. Piagam Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan sidang oleh 9 anggota
BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam Jakarta” dan didalamnya
termuat Pancasila dengan rumusan sebagai berikut :
a) Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
b) Kemanusiaan yang adil dan beradab
c) Persatuan Indonesia
d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pengertian Pancasila Secara
Terminologis Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Kemanusiaan yang adil dan beradab
c) Persatuan Indonesia
d) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan
benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia dalam upaya bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi
dan eksistensinya, terdapat pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Dalam Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950)
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Peri Kemanusiaan
c) Kebangsaan
d) Kerakyatan
e) Keadilan Sosial
2. Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus
1950 – 5 Juli 1959)
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Peri Kemanusiaan
c) Kebangsaan
d) Kerakyatan
e) Keadilan Sosial
3. Dalam kalangan masyarakat luas
a) Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Peri Kemanusiaan
c) Kebangsaan
d) Kedaulatan Rakyat
e) Keadilan Sosial
Dari berbagai macam rumusan
Pancasila, yang sah dan benar adalah rumusan Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000.
B. Pancasila sebagai Dasar Negara
Pengertian Pancasila sebagai dasar
Negara diperoleh dari Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana
tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama
rakyat Indonesia menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum
di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang
pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag)
Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa
menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre
ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa
Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat
Indonesia.
Maka Pancasila merupakan intelligent
choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan
tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi
merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan
dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat
pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia
yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside)
integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar
dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling
kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan
diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara
Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela
dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi
Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang
didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan
mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia
(kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak
sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir
batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan
lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan
sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan
Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang
yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan
hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan
martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang
manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium
identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12
Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/
azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain
sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila
akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila
harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat
dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat
hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”
sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain
haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka
mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa,
Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari
Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan
bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
a. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
c. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan
ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia,
yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab,
yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
C. Memaknai Pancasila Sebagai Dasar
Negara.
Sejak Sebelum merdeka Pancasila
dirumuskan dan kemudian sehari setelah merdeka ditetapkan sebagai dasar negara.
Keputusan itu diterima oleh semupihak karena Pancasila memang merupakan rumusan
kompromi antara berbagai elemen yang berada di negeri ini. Namun
demikian Perjalanan pancasila dalam sejarah negeri ini tidaklah mulus.
Masuknya Indonesia ke dalam demokrasi liberal produk dari maklumat X
yang kemudian disusul dengan penetapan UUDS 1950 menempatkan politik
Indonesia sebagai sistem liberal dengan multi partai dengan sistem
pemerintahan Parlementer telah menyimpang dari UUD 1945. Sidang
konstituante yang menempatkan semua UUD yang ada baik UUD 1945 maupun
UUD 1950 sebagai UUD sementara yang harus diubah, maka persoaalan dasar
negara kemudian juga muncul kembali partai-partai Nasional dan komunis mendukung
dasar pancasila sementara Masyumi, NU, Perti PSII dan partai islam lainnya
mendukung Islam sebagai dasar negara. Ini antara lain salah satu fase sejarah
perjalanan Pancasila yang mesti dirunut.
KH Muchid Muzadi (Mustasyar PBNU)
mencoba menjelaskan kenapa NU yanaga sejak awal telah mensepakati Pancasila
sebagai dasar negara sampai bias mengikuti Masyumi menghendaki dasar Islam. Ada
beberapa alasan, pertama musuh bebuyutan NU yaitu PKI ikut mendukung Pancasila,
maka NU khawatir Pancasila tidak murni lagi dijadikan sarana manipulasi oleh
komunis, saat itu Bung Karno juga mulai akan memeras-meras Pancasila menjadi
Trisila samapi Eka sila. Ini juga mengkhawatirkan NU dengan nasib Pancasila
yang seutuhnya, makanya NU kemudian memilih dasar Islam. Ketika konstituante
mengalami jalan buntu setelah dilakukan voting tentang dasar negara yang
kekuatannya berimbang, pihak NU mulai realistis, karena itu mencoba melalui
pendekatan dengan Bung Karno, kalau Kembali Ke UUD 1945 dan menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara hendaklah Piagam Jakarta tetap dijadikan sumber
inspirasi dan sumber hukum dan tetap menjiwai UUD 1945. Tuntutan NU itu dipenuhi
karena itu NU kemudian bersedia menjadi pendorong kembali Ke UUD 1945 dan
Penempatan pancasila sebagai dasar negara. Kembalinya NU ke dasar pancasila itu
sebenarnya telah dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq pada tahun 1957 saat sidang
Konstituante berlangsung, tetapi usulan itu tidak memperoleh tanggapan serius.
Usulan NU yang disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam sidang Konstituante
untuk penempatan Piagam Jakarta sebagai jiwa dari UUD 1945 dan Pancasila
sebagai dasar negara tanpa mengabaikan nilai-nilai agama itu dianggap mampu
mengurai persoalan pelik hubungan agama dengan negara, yang dihadapi oleh semua
partai agama saat itu. Jalan keluar yang ditawarkan oleh NU itu dianggap
langkah sangat cerdik, akhirnya partai-partai Islam yang selama ini menghendaki
dasar Islam bersedia menerima Pancasila dan UUD 1945.
Ketika hubungan agama dengan negara
kembali mencuat setelah munculnya berbagai peristiwa komando jhad dan gerakan
teror lainnya di Indonesia yang terisnpirasi oleh Revolusi Islam Iran, tidak
sedikit kelompok yang memiliki aspirasi negara Islam muncul kembali. Gerakan
Islam radikal juga amulai marak hingga awal tahun 1980. Karena itu dalam
Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1982 NU menetapkan Pancasila
sebagai Asas organisasinya dengan beberapa alasan antara lain :
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah
negara republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan
tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Penerimaan dan pengamalan Pancasila
merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat
agamanya. Selanjutnya dikatakan bahwa NU berkewajiban mengamankan pengertian
Pancasila secara murni dan konsekwen. Kata mengamankan pengertian pancasila
menjadi komitmen NU hal itu tidak lain karena selama ini Pancasila cenderung
disalahartikan, selama ini misalnya orde baru menggunakan Pancasila untuk
menstigma kelompok lain sehingga dijadikan alasan untuk menyingkirkan
seseorang, padahal Pancasila merupakan wadah kompromi bagi aneka macam bangsa Indonesia.
Belum lagi kalau selama ini kita mengaku Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, tetapi dalam kenyatannya kita telah banyak mengingkari
ketetapan itu. Karena itu pengertian arah dan tujuan Pancasila perlu diamankan,
perlu diluruskan, dan kini kewajiban kita, apakah sistem politik kita,
demokrasi kita sistem ekonomi kita dan sistem relasi sosial kita masih berpijak
pada Pancasila ini perlu kita periksa satu persatu, kalau kita masih mengakui
Pancasila sebagai dasar negara.
D. Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar
Negara Melalui Paradigma Fungsional.
Baik disadari atau tidak, dan baik
diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh
gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran
dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri
kita sendiri, hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh
kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut. Mari kita mulai
dengan kemajuan bahkan kemajuan besar yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi
Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak
kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian
banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan
terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998
terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan
media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara.
Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya.
Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan
daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan
bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan
umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti
sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi
pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di
lembaga-lembaga legislatif. Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam
penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga
terlihat stagnasi, bahkan kemerdekaan terutama dalam penghormatan, perlindungan,
serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih
belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997,
satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap
tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan yang pernah demikian
baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan
puskesmas terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah
menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke
negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang
bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu dosa yang
diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di
tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota
dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke meja hijau dan dijatuhi hukuman,
yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih
sakit juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah,
yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat
kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh Dr
Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta
lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke
jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang
terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik yang
seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk
seleksi kepemimpinan ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah
mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang
berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang
luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga,
penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan
anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup
rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya
yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara
dengan satu dan lain cara.Kekuatan TNI terutama di laut dan di udara sedemikian
lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy
yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia,
tetapi juga oleh kapalkapalperang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat
yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi
maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh
pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin
hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas nota juga
tanpa pengawasan yang efektif bukan saja secara praktis telah mencaplok
demikian luas hak l masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga
telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam
secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian
bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini,
namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan
secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang
tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih
komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja
tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing
badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan
PT Semen Gresik, Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi
Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti
bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang
terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan
pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya. Sudah barang tentu, frasa
Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam
dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal
dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna,
tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila
telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai
suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam mantra
sekuler dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam posisi yang telah
diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional baik yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan
pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998 terasa demikian dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa
filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral. Tidak ayal lagi,
kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara
yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap
keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan,
bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan alasan
pembentukan (raison) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa
tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara
tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu.
Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja
cenderung dibawa ke hulu yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran
metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya.
Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa
sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh
karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara
melaksanakan Pancasilasebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke
arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Makalah
ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu
paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan
harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual
kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijaka
nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kondisi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan
disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme,
serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa
adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil
akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui
revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara
konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan
mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan
ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu
kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada para mahasiswa sekarang.
B. Saran
Berdasarkan
uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah
negara kita Republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan
mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh
rasa tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar